Selasa, 27 Desember 2011

PENDIDIKAN ISLAM

PENDIDIKAN ISLAM

A. PENGERTIAN PESERTA DIDIK

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.

Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.

Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik tersebut.

a. ciri – ciri peserta didik :

  1. kelemahan dan ketak berdayaannya
  2. berkemauan keras untuk berkembang
  3. ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).[1]

b. kriteria peserta didik :

Syamsul nizar mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :

  1. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
  2. peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
  3. peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
  4. peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu
  5. peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[2]

Didalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.

Sehingga agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu memahami peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah :

  1. kebutuhannya
  2. dimensi-dimensinya
  3. intelegensinya
  4. kepribadiannya.[3]

Allah SWT berfirman :

salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. Al – Qashas 28:26).

Tiap-tiap dari kalian adalah penggembala, dan tiap-tiap orang diantara kalian akan bertanggung jawab tentang gembalanya. (al-hadits).

B. KEBUTUHAN-KEBUTUHAN PESERTA DIDIK

Pada sub bab sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses pendidikan maka seorang pendidik harus mampu memahami karakteristik seorang peserta didik itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya adalah kebutuhan peserta didik.

Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu :

  1. 1. Kebutuhan Fisik

Fisik seorang didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :

  1. peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
  2. peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
  3. peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[4]

Pada masa perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan perubahan dan perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta didik mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas) yang secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.

Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu memberikan bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik kepada arah kedewasaan yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.

  1. 2. Kebutuhan Sosial

Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui oleh seorang peserta didik dalam proses pendidikan.

Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan lansung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[5]

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan untuk memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)

  1. 3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status

Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat.

Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat.

  1. 4. Kebutuhan Mandiri

Ketika seorang peserta didik telah melewati masa anak dan memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan karena ketika peserta telah menjadi seorang remaja, dia akan memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang dipilihnya.

Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah yang menyebabkan para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari cara pandang mereka akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.

  1. 5. Kebutuhan Untuk Berprestasi

Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu mendapatkan kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta didik akan mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan menuntutnun langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.

  1. 6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai

Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan mental dan prestasi dari seorang peserta didik. Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua akan sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap mental peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.

  1. 7. Kebutuhan Untuk Curhat

Ktika seorang peserta didik menghadapi masa pubertas, meka seorang peserta didik tersebut tengah mulai mendapatkan problema-probelama keremajaan. Kebutuhan untuk curhat biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah yang dia hadapi. Pada hakekatnya ketika seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat. Tindakan ini akan membuat seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia rasakan dapat dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk sikap tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.

  1. 8. Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup

Pada hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan, pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.

Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari bagaimana dia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat erat kaitannya dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia untuk mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup. Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.

Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia, sehingga tatkala seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki rasa iman. Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia peserta didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka iman tersebut akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya, siapa yang dapat melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan kepada saya. Namun iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.

Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya adalah pemenuhan kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.[6]

Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).

C. DIMENSI – DIMENSI PESERTA DIDIK

Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa yang akan datang (kedewasaan).

Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam Islam, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.[7]

Didalam Sub Bab ini penulis hanya akan membahas 7 dimensi saja. Adapun ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi keberagamaannya, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi sosial.

1. Dimensi Fisik (Jasmani)

Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik. Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukanya akal.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. Attin :4).

Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan biotik manusia dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama, yaitu tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.

Ramayulis, dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang menyatakan bahwa daya hidup yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat bergantung pada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut, dan sebagainya.[8]

2. Dimensi Akal

Ramayulis dalam bukunya ia mengambil pendapat al – Ishfahami yang membagi akal menjadi dua macam yaitu :

  1. Aql Al-Mathhu’ : yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah Illahi.
  2. Aql al-masmu : yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.[9] Akal ini tidak dapat dilepaskan dari diri manusia, karena digunakan untuk menggerakkan akal mathhu untuk tetap berada di jalan Allah.

Akal memiliki fungsi sebagai berikut :

  1. Akal adalah penahan nafsu.
  2. Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak jelas maupun yang tidak jelas.
  3. Akal adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan.
  4. Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
  5. Adalah pandangan batin yang berpandangan tembus melebihi penglihatan mata
  6. Akal adalah daya ingat mengambil dari masa lampau untuk masa yang akan dihadapi.[10]

Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.

3. Dimensi Keberagaman

Manusia sejak lahir kedunia telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang percaya akan adanya tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan ketika ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan akan adanya tuhan sejak lahir. Dalam Ayat Al-qur’an ditegaskan :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al – A’raf : 172)

Berkaitan dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki tiga implikasi dasar pada diri manusia yang didasarkan dari adanya satu kesamaan dari jutaan perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :

  1. impikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi
  2. tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan berhasil jika manusia menjalankan tugasnya sebagi abdullah dan kholifah
  3. muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.[11]

4. Dimensi Akhlak

Kata akhlak dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.

Akhlak menurut pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.

Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, yaitu :

  1. bersifat menyeluruh atau universal
  2. menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi
  3. bersifat sederhana atau tidak berlebih-lebihan
  4. realistis, sesuai dengan akal dan kemampuan manusia
  5. kemudahan, manusia tidak diberi beban yang melebihi kemampuannya
  6. mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan, perbuatan, teori, dan praktek
  7. tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip akhlak umum.[12]

Pendidikan akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan tujuan untuk membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu disadari bahwasannya pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada diri peserta didik.

5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)

Tidak jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani dalah adalah dimensi yang sangat penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna debelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya. Allah SWT berfirman :

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud

(Al – hijr : 29).

Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al- nafs. Al-ruh adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, tuhan, dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda dengan makhluk lainnya dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan makhluk lain yang sama-sama memiliki al-nafs seperti halnya hewan dan tumbuhan.[13]

Menurut pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga dengan sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan untuk mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat berkembang ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.

6. Dimensi Seni (Keindahan)

Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga senia dalam diri manusia harus lah dikembangkan. seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menajalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.

Dalam agama islam Allah telah menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an. Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah. Hal ini karena A-lqur’an adalah ekspresi dari Allah SWT untuk memberikan kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran Illahi didalam mu’jizat yang bersifat universal ini. Allah SWT berfirman :

Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS. An-nahl : 6)

Keindahan selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia. Semakin tinggi iman yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat merasakan keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.

7. Dimensi Sosial

Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.

Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong sesama serta menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

Demi allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.

D. TINGKAT INTELEGENSI PESERTA DIDIK

Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman, kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.

Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik adalah kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :

  1. kecerdasan intelektual
  2. kecerdasan emosional
  3. kecerdasan spiritual
  4. Kecerdasan Qalbiyah.

1. Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.[14]

Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika). Secara umum kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :

Tingkat Inteltual
Super normal
Normal dan sedikit dibawah normal
Sub Normal
  • Normal atau subnormal, IQ 90 – 110
  • Berdorline, IQ 70 – 90
  • Debil, IQ 50 – 70
  • Insibil, IQ 25 – 50
  • Idiot, IQ 20 – 25”
  • Genius, IQ diatas 140
  • Gifted, IQ 130 – 140
  • Superior, IQ 110 – 130

Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, mengatakan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. berkelainan sosial
  2. berkelainan jasmani
  3. berkelainan mental
  1. anak nakal/ delinquen
  2. anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat
  1. anak timpang
  2. anak berkelainan penglihatan
  3. anak berkelainan pendengaran
  4. anak berkelainan bicara
  5. anak kerdil
  1. tingkat kecerdasan rendah
  2. tingkat kecerdasan tinggi.[15]

2. Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[16]

Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa malas yang timbul pada dirinya.

Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai berikut :

  1. Konsistensi (istiqamah)
  2. Kerendahan hati (tawadhu’)
  3. Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
  4. Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
  5. Keseimbangan (tawazun)
  6. Integritas dan penyempurnaan (ihsan)

Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[17] Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan, yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang posistif.

Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :

  1. respon yang cepat namun ceroboh
  2. mendahulukan perasaan daripada fikiran
  3. realitas simbolik yang seperti anak-anak
  4. masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
  5. realitas yang ditentukan oleh keadaan.[18]

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).

Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk
  2. muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari
  3. muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan
  4. mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri.[19]

3. Kecerdasan Spiritual

Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.

Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.

Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang paling tinggi.

Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
  2. Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
  3. Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.

Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang.

4. Kecerdasan Qalbiyah

Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.

Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.

Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah :

  1. respon yang intuitif ilabiab
  2. lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan
  3. realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
  4. didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan dan pensucian diri.[20]

E. ETIKA PESERTA DIDIK

Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :

  1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Ad-dzariat :56)

Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al-An’am :163)

  1. Bengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi.

Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang

(Adh Dhuha : 4)

  1. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
  2. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
  3. Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
  4. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
  5. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
  6. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
  7. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.

11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.[21]

Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :

  1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
  2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan.
  3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
  4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
  5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[22]

Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :

  1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
  2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
  4. Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.[23]

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tentang peserta didik dalam pendidikan islam dalam bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Peserta didik adalah individu yang mengalami perkembangan dan perubahan, sehingga ia harus mendapatkan bimbingan dan arahan untuk membentuk sikap moral dan kepribadian.
  2. Kebutuhan peserta didik yang berupa kebutuhan fisik, sosial, mendapatkan status, mandiri, berprestasi, ingin disayangi dan dicintai, curhat, dan mendapatkan filsafat hidup harus dipenuhi oleh pendidik untuk menunjang perkembangan dan pembentukan sikap moral peserta didik sebagai insan kamil.
  3. Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak mulia dan dapat disebut sebagai insan kamil.
  4. Peserta didik akan melampaui kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual ketika ia telah mencapai tingkatan ilmu yang melibihi tingkatan kecerdasan qalbiyah, yaitu kecerdasan agama.
  5. Etika peserta didik dalam proses pendidikan islam sangatlah berperan penting dalam proses perkembangan dan pencapaian peserta didik sebagai insan kamil.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu dkk. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.

Supriono,Widodo. Filsafat Manusia dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta, 1996.

Vandha. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.


[1] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal 40

[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77

[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78

[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42

[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78

[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81

[7] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, Hal. 171

[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83

[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85

[10] Ibid., Hal. 86

[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88

[12] Ibid., hal 89 – 90

[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16

[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97

[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46

[16] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke 9 Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45

[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199

[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103

[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105

[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110

[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, Hal. 98

[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119

[23] Ibid, Hal 120

Rabu, 14 Desember 2011

PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia. Artinya pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi pendidikan adalah bagian integral dari sejarah umat manusia. Ia merupakan kebutuhan yang asasi yang tidak mungkin diabaikan. Dalam konteks ini, Immanuel Kant menyatakan bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan.[i] Pernyataan ini mengandung pengertian jika seseorang tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang sebenarnya, dalam arti tidak akan dapat mememuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya.

Pernyataan aksiomatik ini jika dikaitkan dengan konteks Indonesiamasa kini, menyisakan setumpuk permasalahan yang tidak sederhana. Secara jujur harus diakui, setelah proklamasi kemerdekaan sekian puluh tahun, hususnya sesudah memasuki era Orde Baru dan Reformasi, bangsa kita justru kian tenggelam dalam cengkeraman budaya pragmatis, dan instan, serta dinilai gagal memerdekakan manusia dari ketidak adilan dan keterbelakangan. Di tengah capaian pembangunan yang demikian pesat secara lahiriah, bangsa kita justru mengalami kekeringan rohani. Merebaknya perilaku tak beradab, seperti korupsi, mafia hukum dan pajak, main hakim sendiri, dan berbagai aksi kekerasan lainnya menjadi bukti bahwa bangsa kita belum sepenuhnya bisa melaksanakan pendidikan dengan baik dan benar.

Di tengah situasi masyarakat yang memperihatinkan semacam itu, maka pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan kini sedang digugat, bahkan dipertanyakan peran, fungsi dan tugas-tugasnya. Menurut Undang-undang, semestinya ia tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menanamkan dan menyuburkan, nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga output pendidikan benar-benar menjadi manusia yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Namun realitas yang berkembang jusru menunjukkan kecenderungan sebalinya.

Dari sisi penguasaan pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) agaknya pendidikan kita telah memberikan hasil yang cukup, tetapi dari sisi kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). misi pendidikan kita cederung tertinggal, bahkan jauh dari harapan. Mungkin atas tesis inilah maka pada Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas 2 Mei 2010), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa.

Bagaimana pendidikan karakter itu semestinya diimplementasikan?. Tulisan ini akan membahas pendidikan berbasis karakter. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan subyek didik., sesuai dengan basis karakter manusia, makhluk terbaik yang memiliki harkat dan martabat unggul.

Karakter Manusia

Memasuki diskusi tentang karakter manusia menurut perspektif teologis dan filosofis, terlebih dahulu perlu dikemukakan beberapa pertanyaan elementer seputar manusia, yaitu ; (1) Apakah karakteristik yang membedakan manusia dari binatang/makhluk hidup lainnya; ? (2) Apakah tabiat manusia itu baik atau jahat. Terminologi karakter / watak itu menunjuk kepada ciri-ciri atau potensi husus yang dimiliki suatu benda, dan tidak dimiliki oleh benda yang lain.[ii] Dalam hal manusia maka karakter utamanya adalah fitrah yang mewujud pada apa yang disebut nilai-nilai kemanusiaan.

Parapemikir Barat seperti kaum Assosianis(David Hume), penganut Empirisme (Thomas Hobbes), penganut Psikoanalisis (Sigmund Freud) dan para Behavioris (seperti Watson dan Skinner) menganggap tidak ada perbedaan karakter. Seperti binatang, manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh mekanisme asosiasi di antara sensasi-sensasi; makhluk yang tunduk pada hukum gerak, sebuah mesin otomatis tanpa jiwa; atau makhluk yang digerakkan oleh naluri biologis, mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan. Menurut mereka, kesadaran diri, kehendak bebas dan ruh adalah konsep-konsep khayali yang diciptakan oleh kepongahan manusia.[iii]

Kaum Rasionalis (Descartes) menyatakan bahwa kelebihan manusia atas binatang adalah tabiat rasionalnya, kemampuan menilai dan memilih. Sementara kaum eksistensialis (Sartre, Ivan Illich) berpendapat bahwa manusia berbeda dengan binatang karena ia menyadari bahwa dirinya bertanggung jawab atas tindaka-tindakan yang dilakukannya.

Dengan merujuk kepada al-Qur’an, para failosof muslim, memberikan penjelasan bahwa pada diri manusia terdapat sifat kehewanan dan kemanusiaan, dan karakter khas manusia ialah iman dan ilmu(sain).[iv] Karakter khas inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Kemanusiaan manusia bergantung pada keimanan dan sains, atau dalam ungkapan lain agama dan pengetahuan (sains) merupakan dasar dari ras manusia. Inilah perbedaan esensi, dan bukan perbedaan kualitas atau kuantitas, antara manusia dengan binatang.

Manusia, adalah sebangsa hewan, Ia memiliki banyak persamaan dengan binatang lainnya, namun pada saat yang sama memiliki banyak ciri yang membedakannya, dan ciri-ciri inilah yang menempatkan manusia lebih unggul jauh di atas makhluk hidup lainnya; sifat-sifat manusiawi manusia akan ditentukan oleh ciri-ciri ini, yang dikenal sebagai manusia budaya.

Binatang mengenal (mengetahui)dunia hanya melalui indranya. Oleh karena itu maka, (1) Pengetahuannya dangkal dan tidak menguasai hubungan internal yang terjadi pada sesuatu itu; (2) Pengetahuannya parsial dan husus, tidak universal dan umum; (3) pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu); (4) pengetahuannya terbatas pada masa sekarang, tidak berkaitan denga masa lalu dan yang akan datang.

Demikian pula hasrat binatang sangat terbatas; (1) Seluruh hasratnya bersifat material, seperti makan-minum, kawin, dan membuat sarang. Ia tidak memiliki kebutuhan spiritual, nilai moral, dan sebagainya; (2) Segenap keinginannya bersifat pribadi dan individual berkaitan dengan binatang itu sendiri, paling tingi berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya; (3) seluruh hasrat dan keinginannya besifat regional dan lingkungan hidupnya sendiri; (4)Keinginan binatang bersifat seketika dan untuk masa sekarang[v].

Berbeda dengan binatang, manusia memiliki pengetahuan, informasi dan keinginan yang sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internalnya dan hubungan yang terjadi, serta menuju hukum-hukum yang mengatur susuatu yang bersangkutan. Pengetahuan manusia mengatasi ruang dan waktu tertentu (walau dalam batas tertentu), ia bisa mengetahui sesuatu yang terjadi sebelum kelahirannya, atau masa lalu dan memprediksi masa depannya. bahkan sejarah bumi, langit dan segenap jajaran galaksinya. Dari sudut pandang ambisi dan aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena ia adalah makhluk yang idealis. Sasaran yang ingin dicapai adalah sesuatu yang bersifat non material dan tidak mendatangkan keuntungan material. Sasaran demikian ini menjadi kepentingan ras manusia seluruhnya, dan tidak hanya terbatas pada diri dan keluarganya saja , serta tidak terbatas pada wilayah atau waktu tertentu saja. Oleh karena begitu idealis, maka manusia sering menomor satukan akidah dan ideology suci yang diyakininya. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih penting dari pada mewujudkan kesejahtraannya sendiri. Demi akidah dan ideology yang diyakini kebenarannya, manusia bersedia mengurbankan dirinya sendiri. Inilah sisi manusiawi dari kebudayaan manusia, yang dianggap sebagai ruh sejati manusia.[vi]

Dari kenyataan di atas, manusia memiliki kehidupan ganda: kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material dan kehidupan budaya. Lalu apa hubungan keduanya, apakah salah satunya merupakan suprastruktur dan yang lain infrastruktur?. Apakah yang satu esensial sedang yang lainnya skunder?.

Adalah merupakan suatu fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang mulia. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih dari organisme material. Berkat gerakan evolusinya yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual (bandingkan dengan QS al-Mu’minun 12-15). Ruh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewan manusia merupakan tempat (wadah) sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini sedang menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Artinya ia telah merdeka dari domonasi lingkungannya, baik batiniyah maupun lahiriah, dan pada gilirannya memiliki dedikasi kepada akidah dan agama. Dengan kata lain manusia masa depan (manusia dewasa dari sisi nilai kemanusiaan) merupakan manusia agama dan budaya, aqidah dan ideology , bukan manusia ekonomi yang mengejar kenikmatan jasmani.[vii]

Oleh karena iman merupakan fitrah (karakter khas) manusia. maka ia memiliki kecenderungan alamiah menuju ke arah kebenaran-kebanaran dan wujud suci. Ia tidak bisa menjalani kehidupan yang baik atau mencapai manfaat bagi kemanusiaan dan peradaban manusia. tanpa memiliki keyakinan dan keimanan. Setiap manusia yang tidak memiliki ideal dan keimanan, akan sepenuhnya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, dan tidak tahu nilai moral dan sosialnya. Selanjutnya yang mesti diperhatikan adalah bahwa hanya agama Islam saja yang bisa membuat manusia menjadi beriman dengan sebenarnya.[viii] Untuk memperkuat kesimpulan ini al-Qur’ansurat al-Rum : 30 menyatakan:

فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون(30)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”[ix]

Dari logika sebagaimana tersebut di atas disimpulkan juga bahwa manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memahami diri dan alam semesta, seperti mengetahui masa lalu dan masa depannya, menjelajah alam di sekitar dan di luar lingkungannya. Dorongan ini juga bersifat fitri. Oleh karena itu manusia selalu ingin tahu dan mencari kebenaran.[x]

Karena iman dan ilmu (sains) merupakan karakteristik manusia, maka pemisahan ke duanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, tahayyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan digunakan memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, perbudakan dan kecurangan. Inilah sebabnya mengapa orang-orang terplajar, tetapi tidak beriman di masa kini, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang jahil yang tak beriman pada masa lampau. Churchill, Nexon, Stalin dan para tiranik (koruptor dan mafia hukum) yang hidup pada masa kini tak berbeda dengan Fir’aun, dan Jengis Khan yang hidup di masa lalu.

Apakah tabi’at manusia itu baik atau jahat? Sigmund Freud dengan tegas menyatakan : jahat. Pendapat Freud ini mirip dengan apa yang disimpulkan Arnold Toynbee. Dikatakan : “Tidak henti-hentinya ada getaran kekerasan dan kekejaman pada tabiat manusia”. Dari kalangan Zoologis, seperti Charles Darwin dan Robert Ardrey, menegaskan dalam buku African Genesis bahwa manusia adalah binatang buas yang naluri alamiyahnya ialah membunuh dengan senjata. Kaum empirisme dan Utilitarianisme menyatakan, di samping agresif, manusia juga rakus dan mementingkan diri sendiri. Kaum Hedonis menegaskan manusia bertindak hanya mencari kesenangan diri sendiri.

Sementara itu kaum humanis, seperti Maslow dan Gordon Allport, berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bersahabat, bercinta dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Jika manusia dibiarkan hidup secara alamiyah, kata Rousseau, ia akan hidup bersih dari segala macam kejahatan. Sayang masyarakat telah merusak jiwa bersih ini. [xi]

Di tengah tengah dua pendapat di atas, ada paham yang menyatakan bahwa manusia itu tidak baik dan tidak jahat. Lingkunganlah yang membentuk mereka. Pilihan yang diambilnyalah yang akan menentukan mereka .

Bagaimana pendapat failosof muslim?. Dengan mengutip al-Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paradoksal. Pada dirinya terdapat sifat baik dan jahat sekaligus, tetapi kedua sifat itu hanyalah yang potensial, dan berdasar potensi-potensi yang dimilikinya, manusia harus berjuang membentuk dirinya kearah kesempurnaan, yang sesuai dengan karakter khasnya (beriman dan berilmu), sebab hanya manusia yang memiliki kemampuan membentuk dan mengembangkan dirinya.

Untuk memperkuat pendapat di atas, beberapa ayat al-Qur’an. Menyatakan antara lain:

  1. Bahwa penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. (QS 20: 122) Karenanya manusia merupakan makhluk pilihan.
  2. Dibanding semua makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi(QS 2: 31-33)
  3. Manusia, dalam fitrahnya memiliki unsure-unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsure badani, yang ada pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan senyawa antara alam nyata dan metafisik.( QS 32 : 7-9)
  4. Karena itu manusia cenderung dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrahnya sendiri (QS 7: 172; QS 30: 43)
  5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para Nabi, dan dikaruniahi tanggung jawab, Mereka diperintah mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, merekapun bebas memilih kesejahtraan atau kesengsaraan baginya ( QS 33: 72 ; QS 76: 2-3)
  6. Manusia memiliki kesadaran moral, yang dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang diberikan oleh Tuhan (QS 91: 7-8)
  7. Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah (QS 13: 28)
  8. Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan meningatnya. Jika mereka melupakan Tuhan, maka mereka akan melupakan dirinya (QS 59: 19)
  9. Atas kelebihan yang dimiliki manusia, Allah mengangkatnya sebagai khalifah (mandataris) di atas bumi (QS 2: 30 ; QS 6: 165)

Implementasi Pendidikan Berbasis karakter

Telah dijelaskan di depan, bahwa karakter manusia adalah fitrah yaitu dimensi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sisi kemanusiaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Manusia adalah makhluk material sekaligus spiritual. Sepanjang sejarahnya manusia selalu berada di persimpangan jalan, sebab dengan berbagai kemampuan dan struktur penciptaannya itu, ia berada di antara dua dorongan; yaitu dorongan ke atas menuju kebenaran Tuhan dan dorongan ke bawah menuju kerendahan duniawi. Apa yang dikenal dalam diri manusia sebagai “prikemanusiaan” adalah sesuatu yang muncul dari aspek ruhani-malakuti manusia.[xii]

Eksistensi manusia, dengan demikian, lebih terletak pada nilai kemanusiaannya dari pada aspek pisik-materialnya. Hal ini dibuktikan dengan mengambil contoh tokoh-tokoh dunia yang secara pisik “tidak sempurna”, tetapi tidak mencacat kepribadiaanya. Socrates, filosof Yunani kenamaan misalnya, adalah seorang yang buruk rupa, tetapi keburukan fisik tidak menghalangi eksistensi dirinya sebagai manusia unggul. Abu al-Ala al-Mu’arra atau Thaha Husen, yang hidup masa sekarang, adalah seorang tuna netra, tetapi ternyata hal itu tidak menghalangi eksistensinya sebagai manusia yang diperhitungkan.[xiii] Sebaliknya, manusia yang terlepas dari nilai kemanusiaannya dan mengikuti kecenderungan aspek materialnya, akan menjadi makhluk yang teragis, dan berbahaya bagi kehidupan, dan karena itu ia bisa jatuh lebih rendah melebihi binatang jahannam sekalipun.[xiv] Tokoh semisal Fir’un, Jenggis Khan, Hitler dan sebagainya, adalah orang-orang yang secara fisik mendekati kesempurnaan, tetapi reputasinya dikenang sebagai manusia fasis dan biadab (tidak berprikemanusiaan).[xv]

Berdasar konsep demikian ini, maka diyakini bahwa pendidikan yang diperlukan oleh manusia harus diarahkan untuk menumbuhkan dan memperkuat keyakinan dan keimanan serta mengembangkan pengetahuan manusia. Pertimbangan ini adalah tuntutan alamiyah. Sebab pendidikan yang shahih adalah pendidikan yang mengembangkan bakat dan potensi manusia secara alami. yang bersifat fitri dan abadi., sehingga menghasilkan kebahagiaan dan kesejahtraan duniawi dan ukhrawi,.material dan spiritual. Dengan ilmu yang dikuasai, manusia diharapkan mampu mengelola bumi ini untuk kesejahtraan masyarakat, dan dengan agama diharapakan mampu mengelola bumi secara santun (manusiawi) di satu pihak, sementara pada pihak lain kelak di akhirat akan memperoleh kehidupan yang layak.

Dilihat dari hakikat dan tujuan pendidikan yang dikembangkan dalam islam, maka upaya yang diusulkan di sini sangat jelas , yaitu membentuk manusia yang sadar akan posisinya sebagai manusia, hamba Allah, dan mampu mejalankan fungsinya sebagai khalifah Allah. Dengan iman dan ilmu yang dikuasainya, akan terdorong untuk menjadi manusia yang bertaqwa dan beramal shalih.

Lalu bagaimana implementasinya?. Rasulullah saw dalam salah satu statemennya menyatakan [xvi]:

حدثني إسحاق بن إبراهيم أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن همام عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسا نه

Artinya : “Tidak ada seorang anak yang lahir, kecuali terlahir dalam kaadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang mendorong sang anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Sabda Rasul saw ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa lingkungan, hususnya lingkungan keluarga ( karena menjadi habitat paling awal dan paling dekat) menjadi sangat urgen dalam proses pendidikan..Kecuali itu kandungan hadits ini juga memberikan isyarat bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama; keluarga, masyarakar dan penguasa/pemimpin (mulai tingkat paling rendah hingga paling tinggi, baik ekskutif, legislative dan yudikatif). Oleh karena itu diperlukan kebersamaan visi, missi dan tujuan umum sesuai dengan harkat dan martabat subyek didik.

Jika karakter subyek didik terletak pada keyakinan/agama dan pengetahuan (ilmu), maka orientasi pendidikan harus diarahkan kesana. Di sinilah makna pentingya kepemimpinan . ia akan menentukan sukses tidaknya missi pendidikan karakter manusia., sebab penentuan kebijakan , koordinasi, pelaksanaan teknis dan keteladanan, semuanya akan bergantung kepada kepemimpinan tersebut. Diutusnya para Nabi dan Rasul ke bumi adalah bertugas memimpim manusia supaya dapat hidup dan berkembang sesuai fitrahnya. Kelemahan yang terpenting selama ini berlangsung (hususnya semenjak orde Baru hingga kini) ialah belum ditemukannya kepemimpinan yang dimaksud.

Jika dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab., maka hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan karakter subyek didik, tetapi masih bersifat normative dan belum mampu diterjemahkan dalam realitas kehidupan. Mengapa demikian?. Jawabnya jelas karena belum ada kepemimpinan yang memadai.

Oleh karena itu ada beberapa hal mendasar (terkait dengan kepemimpinan) yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam pendidikan kita.

  1. 1. Membangun keteladanan pemimpin bangsa. Sudah bertahun-tahun semenjak rezim Orde Baru berkuasa, negeri ini telah kehilangan pemimpin yang berjiwa besar, negarawan yang bisa menjadi teladan dan panutan dalam perilaku hidup sehari-hari. Sikap kaum elite kita, diakui atau tidak, mulai dari lingkup terendah hingga ke tingkat pusat masih berada pada tataran yang verbalistik, tindakannya belum mencerminkan tokoh panutan, belum sejalan dengan apa yang dikatakan. Jargon “berantas korupsi dan mafia hukum” misalnya sering kita dengar, tetapi realitas yang terjadi justru proses pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Hal ini bisa kita saksikan di hampir semua institusi pelat merah. termasuk sikap para politisi. Seruan hidup sederhana, bersikap jujur dan adil misalnya, selama ini juga masih dalam tataran wacana. Proses pendidikan tak akan banyak maknanya jika para pemimpin bangsa ini hanya berada di atas langit-langit kekuasaan. Pemimpin saat ini lebih pas disebut sebagai ngelakoni profesi dari pada memperjuangkan missi.
  2. 2. Memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak UU Guru dan Dosen disahkan, cukup memberi kesegaran. Namun, pada sisi pemberdayaan masih belum optimal. Empat kompetensi (profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial) yang menjadi keniscayaan bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja sehari-hari. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter sebab pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru dan lembaga pendidikan secara menyeluruh dan terpadu.
  3. 3. Dukungan lingkungan sosial, kultural, dan politik ekonomi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin mengabaikan nilai-nilai agama, akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai dari pemerintah, politisi, para birokrat, tokoh masyarakat, agama, terutama media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi , internet dan media elekronik lainnya yang selama ini telah menjadi “nabi” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya yang benar sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak dan remaja yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan, informasi, dan hiburan yang tidak edukatif, sehingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dalam hidup dan kehidupannya..Media TV selama ini terkesan menjadi budak ekonomi semata. Karena itu kepemimpinan yang effektif akan mampu mendorong tumbuhnya lingkungan social dan cultural yang kondusif.

Gresik, 10 Pebruari 2011

Daftar Bacaan

Al-Qur’an Dan Tarjamah

Abdullah Munir, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: PEDAGOGIA, 2010)

Muchlas Samani, Menggagas Pendidikan Bermakna (Surabaya: SIC, 2007)

Zuhairini, Dra. Filsafat Pendidikan Islam (Jakrta : Bumi Aksara, 1995)

Murtadla Muthahhari, Fitrah, terj. ( Jakarta : Lentera, 1998 )

Jalaluddin Rahmat, Muthahhari; Sebuah Model Buat Para Ulama, dalam Murtadla Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama(Bandung: Mizan , 1992)

Murtadla Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama(Bandung: Mizan , 1992)

Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya (Jakarta Imam Muslim, Shahih Muslim, (Semarang : Usaha Keluarga, tth )