Rabu, 14 Desember 2011

PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia. Artinya pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi pendidikan adalah bagian integral dari sejarah umat manusia. Ia merupakan kebutuhan yang asasi yang tidak mungkin diabaikan. Dalam konteks ini, Immanuel Kant menyatakan bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan.[i] Pernyataan ini mengandung pengertian jika seseorang tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang sebenarnya, dalam arti tidak akan dapat mememuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya.

Pernyataan aksiomatik ini jika dikaitkan dengan konteks Indonesiamasa kini, menyisakan setumpuk permasalahan yang tidak sederhana. Secara jujur harus diakui, setelah proklamasi kemerdekaan sekian puluh tahun, hususnya sesudah memasuki era Orde Baru dan Reformasi, bangsa kita justru kian tenggelam dalam cengkeraman budaya pragmatis, dan instan, serta dinilai gagal memerdekakan manusia dari ketidak adilan dan keterbelakangan. Di tengah capaian pembangunan yang demikian pesat secara lahiriah, bangsa kita justru mengalami kekeringan rohani. Merebaknya perilaku tak beradab, seperti korupsi, mafia hukum dan pajak, main hakim sendiri, dan berbagai aksi kekerasan lainnya menjadi bukti bahwa bangsa kita belum sepenuhnya bisa melaksanakan pendidikan dengan baik dan benar.

Di tengah situasi masyarakat yang memperihatinkan semacam itu, maka pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan kini sedang digugat, bahkan dipertanyakan peran, fungsi dan tugas-tugasnya. Menurut Undang-undang, semestinya ia tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menanamkan dan menyuburkan, nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga output pendidikan benar-benar menjadi manusia yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Namun realitas yang berkembang jusru menunjukkan kecenderungan sebalinya.

Dari sisi penguasaan pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) agaknya pendidikan kita telah memberikan hasil yang cukup, tetapi dari sisi kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). misi pendidikan kita cederung tertinggal, bahkan jauh dari harapan. Mungkin atas tesis inilah maka pada Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas 2 Mei 2010), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa.

Bagaimana pendidikan karakter itu semestinya diimplementasikan?. Tulisan ini akan membahas pendidikan berbasis karakter. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan subyek didik., sesuai dengan basis karakter manusia, makhluk terbaik yang memiliki harkat dan martabat unggul.

Karakter Manusia

Memasuki diskusi tentang karakter manusia menurut perspektif teologis dan filosofis, terlebih dahulu perlu dikemukakan beberapa pertanyaan elementer seputar manusia, yaitu ; (1) Apakah karakteristik yang membedakan manusia dari binatang/makhluk hidup lainnya; ? (2) Apakah tabiat manusia itu baik atau jahat. Terminologi karakter / watak itu menunjuk kepada ciri-ciri atau potensi husus yang dimiliki suatu benda, dan tidak dimiliki oleh benda yang lain.[ii] Dalam hal manusia maka karakter utamanya adalah fitrah yang mewujud pada apa yang disebut nilai-nilai kemanusiaan.

Parapemikir Barat seperti kaum Assosianis(David Hume), penganut Empirisme (Thomas Hobbes), penganut Psikoanalisis (Sigmund Freud) dan para Behavioris (seperti Watson dan Skinner) menganggap tidak ada perbedaan karakter. Seperti binatang, manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh mekanisme asosiasi di antara sensasi-sensasi; makhluk yang tunduk pada hukum gerak, sebuah mesin otomatis tanpa jiwa; atau makhluk yang digerakkan oleh naluri biologis, mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan. Menurut mereka, kesadaran diri, kehendak bebas dan ruh adalah konsep-konsep khayali yang diciptakan oleh kepongahan manusia.[iii]

Kaum Rasionalis (Descartes) menyatakan bahwa kelebihan manusia atas binatang adalah tabiat rasionalnya, kemampuan menilai dan memilih. Sementara kaum eksistensialis (Sartre, Ivan Illich) berpendapat bahwa manusia berbeda dengan binatang karena ia menyadari bahwa dirinya bertanggung jawab atas tindaka-tindakan yang dilakukannya.

Dengan merujuk kepada al-Qur’an, para failosof muslim, memberikan penjelasan bahwa pada diri manusia terdapat sifat kehewanan dan kemanusiaan, dan karakter khas manusia ialah iman dan ilmu(sain).[iv] Karakter khas inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Kemanusiaan manusia bergantung pada keimanan dan sains, atau dalam ungkapan lain agama dan pengetahuan (sains) merupakan dasar dari ras manusia. Inilah perbedaan esensi, dan bukan perbedaan kualitas atau kuantitas, antara manusia dengan binatang.

Manusia, adalah sebangsa hewan, Ia memiliki banyak persamaan dengan binatang lainnya, namun pada saat yang sama memiliki banyak ciri yang membedakannya, dan ciri-ciri inilah yang menempatkan manusia lebih unggul jauh di atas makhluk hidup lainnya; sifat-sifat manusiawi manusia akan ditentukan oleh ciri-ciri ini, yang dikenal sebagai manusia budaya.

Binatang mengenal (mengetahui)dunia hanya melalui indranya. Oleh karena itu maka, (1) Pengetahuannya dangkal dan tidak menguasai hubungan internal yang terjadi pada sesuatu itu; (2) Pengetahuannya parsial dan husus, tidak universal dan umum; (3) pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu); (4) pengetahuannya terbatas pada masa sekarang, tidak berkaitan denga masa lalu dan yang akan datang.

Demikian pula hasrat binatang sangat terbatas; (1) Seluruh hasratnya bersifat material, seperti makan-minum, kawin, dan membuat sarang. Ia tidak memiliki kebutuhan spiritual, nilai moral, dan sebagainya; (2) Segenap keinginannya bersifat pribadi dan individual berkaitan dengan binatang itu sendiri, paling tingi berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya; (3) seluruh hasrat dan keinginannya besifat regional dan lingkungan hidupnya sendiri; (4)Keinginan binatang bersifat seketika dan untuk masa sekarang[v].

Berbeda dengan binatang, manusia memiliki pengetahuan, informasi dan keinginan yang sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internalnya dan hubungan yang terjadi, serta menuju hukum-hukum yang mengatur susuatu yang bersangkutan. Pengetahuan manusia mengatasi ruang dan waktu tertentu (walau dalam batas tertentu), ia bisa mengetahui sesuatu yang terjadi sebelum kelahirannya, atau masa lalu dan memprediksi masa depannya. bahkan sejarah bumi, langit dan segenap jajaran galaksinya. Dari sudut pandang ambisi dan aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena ia adalah makhluk yang idealis. Sasaran yang ingin dicapai adalah sesuatu yang bersifat non material dan tidak mendatangkan keuntungan material. Sasaran demikian ini menjadi kepentingan ras manusia seluruhnya, dan tidak hanya terbatas pada diri dan keluarganya saja , serta tidak terbatas pada wilayah atau waktu tertentu saja. Oleh karena begitu idealis, maka manusia sering menomor satukan akidah dan ideology suci yang diyakininya. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih penting dari pada mewujudkan kesejahtraannya sendiri. Demi akidah dan ideology yang diyakini kebenarannya, manusia bersedia mengurbankan dirinya sendiri. Inilah sisi manusiawi dari kebudayaan manusia, yang dianggap sebagai ruh sejati manusia.[vi]

Dari kenyataan di atas, manusia memiliki kehidupan ganda: kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material dan kehidupan budaya. Lalu apa hubungan keduanya, apakah salah satunya merupakan suprastruktur dan yang lain infrastruktur?. Apakah yang satu esensial sedang yang lainnya skunder?.

Adalah merupakan suatu fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang mulia. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih dari organisme material. Berkat gerakan evolusinya yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual (bandingkan dengan QS al-Mu’minun 12-15). Ruh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewan manusia merupakan tempat (wadah) sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini sedang menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Artinya ia telah merdeka dari domonasi lingkungannya, baik batiniyah maupun lahiriah, dan pada gilirannya memiliki dedikasi kepada akidah dan agama. Dengan kata lain manusia masa depan (manusia dewasa dari sisi nilai kemanusiaan) merupakan manusia agama dan budaya, aqidah dan ideology , bukan manusia ekonomi yang mengejar kenikmatan jasmani.[vii]

Oleh karena iman merupakan fitrah (karakter khas) manusia. maka ia memiliki kecenderungan alamiah menuju ke arah kebenaran-kebanaran dan wujud suci. Ia tidak bisa menjalani kehidupan yang baik atau mencapai manfaat bagi kemanusiaan dan peradaban manusia. tanpa memiliki keyakinan dan keimanan. Setiap manusia yang tidak memiliki ideal dan keimanan, akan sepenuhnya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, dan tidak tahu nilai moral dan sosialnya. Selanjutnya yang mesti diperhatikan adalah bahwa hanya agama Islam saja yang bisa membuat manusia menjadi beriman dengan sebenarnya.[viii] Untuk memperkuat kesimpulan ini al-Qur’ansurat al-Rum : 30 menyatakan:

فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون(30)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,”[ix]

Dari logika sebagaimana tersebut di atas disimpulkan juga bahwa manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memahami diri dan alam semesta, seperti mengetahui masa lalu dan masa depannya, menjelajah alam di sekitar dan di luar lingkungannya. Dorongan ini juga bersifat fitri. Oleh karena itu manusia selalu ingin tahu dan mencari kebenaran.[x]

Karena iman dan ilmu (sains) merupakan karakteristik manusia, maka pemisahan ke duanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, tahayyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan digunakan memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, perbudakan dan kecurangan. Inilah sebabnya mengapa orang-orang terplajar, tetapi tidak beriman di masa kini, sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang jahil yang tak beriman pada masa lampau. Churchill, Nexon, Stalin dan para tiranik (koruptor dan mafia hukum) yang hidup pada masa kini tak berbeda dengan Fir’aun, dan Jengis Khan yang hidup di masa lalu.

Apakah tabi’at manusia itu baik atau jahat? Sigmund Freud dengan tegas menyatakan : jahat. Pendapat Freud ini mirip dengan apa yang disimpulkan Arnold Toynbee. Dikatakan : “Tidak henti-hentinya ada getaran kekerasan dan kekejaman pada tabiat manusia”. Dari kalangan Zoologis, seperti Charles Darwin dan Robert Ardrey, menegaskan dalam buku African Genesis bahwa manusia adalah binatang buas yang naluri alamiyahnya ialah membunuh dengan senjata. Kaum empirisme dan Utilitarianisme menyatakan, di samping agresif, manusia juga rakus dan mementingkan diri sendiri. Kaum Hedonis menegaskan manusia bertindak hanya mencari kesenangan diri sendiri.

Sementara itu kaum humanis, seperti Maslow dan Gordon Allport, berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bersahabat, bercinta dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Jika manusia dibiarkan hidup secara alamiyah, kata Rousseau, ia akan hidup bersih dari segala macam kejahatan. Sayang masyarakat telah merusak jiwa bersih ini. [xi]

Di tengah tengah dua pendapat di atas, ada paham yang menyatakan bahwa manusia itu tidak baik dan tidak jahat. Lingkunganlah yang membentuk mereka. Pilihan yang diambilnyalah yang akan menentukan mereka .

Bagaimana pendapat failosof muslim?. Dengan mengutip al-Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paradoksal. Pada dirinya terdapat sifat baik dan jahat sekaligus, tetapi kedua sifat itu hanyalah yang potensial, dan berdasar potensi-potensi yang dimilikinya, manusia harus berjuang membentuk dirinya kearah kesempurnaan, yang sesuai dengan karakter khasnya (beriman dan berilmu), sebab hanya manusia yang memiliki kemampuan membentuk dan mengembangkan dirinya.

Untuk memperkuat pendapat di atas, beberapa ayat al-Qur’an. Menyatakan antara lain:

  1. Bahwa penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. (QS 20: 122) Karenanya manusia merupakan makhluk pilihan.
  2. Dibanding semua makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi(QS 2: 31-33)
  3. Manusia, dalam fitrahnya memiliki unsure-unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsure badani, yang ada pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan senyawa antara alam nyata dan metafisik.( QS 32 : 7-9)
  4. Karena itu manusia cenderung dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrahnya sendiri (QS 7: 172; QS 30: 43)
  5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para Nabi, dan dikaruniahi tanggung jawab, Mereka diperintah mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, merekapun bebas memilih kesejahtraan atau kesengsaraan baginya ( QS 33: 72 ; QS 76: 2-3)
  6. Manusia memiliki kesadaran moral, yang dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang diberikan oleh Tuhan (QS 91: 7-8)
  7. Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah (QS 13: 28)
  8. Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan meningatnya. Jika mereka melupakan Tuhan, maka mereka akan melupakan dirinya (QS 59: 19)
  9. Atas kelebihan yang dimiliki manusia, Allah mengangkatnya sebagai khalifah (mandataris) di atas bumi (QS 2: 30 ; QS 6: 165)

Implementasi Pendidikan Berbasis karakter

Telah dijelaskan di depan, bahwa karakter manusia adalah fitrah yaitu dimensi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sisi kemanusiaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Manusia adalah makhluk material sekaligus spiritual. Sepanjang sejarahnya manusia selalu berada di persimpangan jalan, sebab dengan berbagai kemampuan dan struktur penciptaannya itu, ia berada di antara dua dorongan; yaitu dorongan ke atas menuju kebenaran Tuhan dan dorongan ke bawah menuju kerendahan duniawi. Apa yang dikenal dalam diri manusia sebagai “prikemanusiaan” adalah sesuatu yang muncul dari aspek ruhani-malakuti manusia.[xii]

Eksistensi manusia, dengan demikian, lebih terletak pada nilai kemanusiaannya dari pada aspek pisik-materialnya. Hal ini dibuktikan dengan mengambil contoh tokoh-tokoh dunia yang secara pisik “tidak sempurna”, tetapi tidak mencacat kepribadiaanya. Socrates, filosof Yunani kenamaan misalnya, adalah seorang yang buruk rupa, tetapi keburukan fisik tidak menghalangi eksistensi dirinya sebagai manusia unggul. Abu al-Ala al-Mu’arra atau Thaha Husen, yang hidup masa sekarang, adalah seorang tuna netra, tetapi ternyata hal itu tidak menghalangi eksistensinya sebagai manusia yang diperhitungkan.[xiii] Sebaliknya, manusia yang terlepas dari nilai kemanusiaannya dan mengikuti kecenderungan aspek materialnya, akan menjadi makhluk yang teragis, dan berbahaya bagi kehidupan, dan karena itu ia bisa jatuh lebih rendah melebihi binatang jahannam sekalipun.[xiv] Tokoh semisal Fir’un, Jenggis Khan, Hitler dan sebagainya, adalah orang-orang yang secara fisik mendekati kesempurnaan, tetapi reputasinya dikenang sebagai manusia fasis dan biadab (tidak berprikemanusiaan).[xv]

Berdasar konsep demikian ini, maka diyakini bahwa pendidikan yang diperlukan oleh manusia harus diarahkan untuk menumbuhkan dan memperkuat keyakinan dan keimanan serta mengembangkan pengetahuan manusia. Pertimbangan ini adalah tuntutan alamiyah. Sebab pendidikan yang shahih adalah pendidikan yang mengembangkan bakat dan potensi manusia secara alami. yang bersifat fitri dan abadi., sehingga menghasilkan kebahagiaan dan kesejahtraan duniawi dan ukhrawi,.material dan spiritual. Dengan ilmu yang dikuasai, manusia diharapkan mampu mengelola bumi ini untuk kesejahtraan masyarakat, dan dengan agama diharapakan mampu mengelola bumi secara santun (manusiawi) di satu pihak, sementara pada pihak lain kelak di akhirat akan memperoleh kehidupan yang layak.

Dilihat dari hakikat dan tujuan pendidikan yang dikembangkan dalam islam, maka upaya yang diusulkan di sini sangat jelas , yaitu membentuk manusia yang sadar akan posisinya sebagai manusia, hamba Allah, dan mampu mejalankan fungsinya sebagai khalifah Allah. Dengan iman dan ilmu yang dikuasainya, akan terdorong untuk menjadi manusia yang bertaqwa dan beramal shalih.

Lalu bagaimana implementasinya?. Rasulullah saw dalam salah satu statemennya menyatakan [xvi]:

حدثني إسحاق بن إبراهيم أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن همام عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسا نه

Artinya : “Tidak ada seorang anak yang lahir, kecuali terlahir dalam kaadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang mendorong sang anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Sabda Rasul saw ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa lingkungan, hususnya lingkungan keluarga ( karena menjadi habitat paling awal dan paling dekat) menjadi sangat urgen dalam proses pendidikan..Kecuali itu kandungan hadits ini juga memberikan isyarat bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama; keluarga, masyarakar dan penguasa/pemimpin (mulai tingkat paling rendah hingga paling tinggi, baik ekskutif, legislative dan yudikatif). Oleh karena itu diperlukan kebersamaan visi, missi dan tujuan umum sesuai dengan harkat dan martabat subyek didik.

Jika karakter subyek didik terletak pada keyakinan/agama dan pengetahuan (ilmu), maka orientasi pendidikan harus diarahkan kesana. Di sinilah makna pentingya kepemimpinan . ia akan menentukan sukses tidaknya missi pendidikan karakter manusia., sebab penentuan kebijakan , koordinasi, pelaksanaan teknis dan keteladanan, semuanya akan bergantung kepada kepemimpinan tersebut. Diutusnya para Nabi dan Rasul ke bumi adalah bertugas memimpim manusia supaya dapat hidup dan berkembang sesuai fitrahnya. Kelemahan yang terpenting selama ini berlangsung (hususnya semenjak orde Baru hingga kini) ialah belum ditemukannya kepemimpinan yang dimaksud.

Jika dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab., maka hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan karakter subyek didik, tetapi masih bersifat normative dan belum mampu diterjemahkan dalam realitas kehidupan. Mengapa demikian?. Jawabnya jelas karena belum ada kepemimpinan yang memadai.

Oleh karena itu ada beberapa hal mendasar (terkait dengan kepemimpinan) yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam pendidikan kita.

  1. 1. Membangun keteladanan pemimpin bangsa. Sudah bertahun-tahun semenjak rezim Orde Baru berkuasa, negeri ini telah kehilangan pemimpin yang berjiwa besar, negarawan yang bisa menjadi teladan dan panutan dalam perilaku hidup sehari-hari. Sikap kaum elite kita, diakui atau tidak, mulai dari lingkup terendah hingga ke tingkat pusat masih berada pada tataran yang verbalistik, tindakannya belum mencerminkan tokoh panutan, belum sejalan dengan apa yang dikatakan. Jargon “berantas korupsi dan mafia hukum” misalnya sering kita dengar, tetapi realitas yang terjadi justru proses pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Hal ini bisa kita saksikan di hampir semua institusi pelat merah. termasuk sikap para politisi. Seruan hidup sederhana, bersikap jujur dan adil misalnya, selama ini juga masih dalam tataran wacana. Proses pendidikan tak akan banyak maknanya jika para pemimpin bangsa ini hanya berada di atas langit-langit kekuasaan. Pemimpin saat ini lebih pas disebut sebagai ngelakoni profesi dari pada memperjuangkan missi.
  2. 2. Memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak UU Guru dan Dosen disahkan, cukup memberi kesegaran. Namun, pada sisi pemberdayaan masih belum optimal. Empat kompetensi (profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial) yang menjadi keniscayaan bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja sehari-hari. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter sebab pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru dan lembaga pendidikan secara menyeluruh dan terpadu.
  3. 3. Dukungan lingkungan sosial, kultural, dan politik ekonomi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin mengabaikan nilai-nilai agama, akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai dari pemerintah, politisi, para birokrat, tokoh masyarakat, agama, terutama media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi , internet dan media elekronik lainnya yang selama ini telah menjadi “nabi” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya yang benar sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak dan remaja yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan, informasi, dan hiburan yang tidak edukatif, sehingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dalam hidup dan kehidupannya..Media TV selama ini terkesan menjadi budak ekonomi semata. Karena itu kepemimpinan yang effektif akan mampu mendorong tumbuhnya lingkungan social dan cultural yang kondusif.

Gresik, 10 Pebruari 2011

Daftar Bacaan

Al-Qur’an Dan Tarjamah

Abdullah Munir, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: PEDAGOGIA, 2010)

Muchlas Samani, Menggagas Pendidikan Bermakna (Surabaya: SIC, 2007)

Zuhairini, Dra. Filsafat Pendidikan Islam (Jakrta : Bumi Aksara, 1995)

Murtadla Muthahhari, Fitrah, terj. ( Jakarta : Lentera, 1998 )

Jalaluddin Rahmat, Muthahhari; Sebuah Model Buat Para Ulama, dalam Murtadla Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama(Bandung: Mizan , 1992)

Murtadla Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama(Bandung: Mizan , 1992)

Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya (Jakarta Imam Muslim, Shahih Muslim, (Semarang : Usaha Keluarga, tth )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar